Istilah hustle culture makin sering terdengar, terutama di kalangan profesional muda dan pelaku industri kreatif. Banyak yang mengidentikkan budaya ini dengan semangat pantang menyerah, kerja lembur tanpa henti, dan mengejar target seolah waktu tidak pernah cukup. Akan tetapi, sebenarnya arti dari hustle culture tidak sekadar soal bekerja keras. Ada filosofi, dorongan nilai, dan juga sisi gelap yang perlu dipahami agar tidak terjebak dalam glorifikasi yang merugikan diri sendiri.
Nah, berikut ini, kita akan membahas lebih dalam mengenai filosofi hustle culture, alasan budaya ini begitu melekat di era modern, serta dampak hustle culture terhadap kehidupan pribadi dan kesehatan mental.
Secara sederhana, arti hustle culture adalah budaya kerja yang mendorong seseorang untuk terus produktif, sibuk, dan mengejar pencapaian secara konstan. Bahkan, hal ini juga dilakukan di luar jam kerja normal.
Dalam hustle culture, bekerja lebih lama, tidur lebih sedikit, dan multitasking menjadi simbol kebanggaan. Slogan seperti sleep is for the weak atau grind now, rest later sering menjadi semangat yang dibagikan di media sosial oleh mereka yang menjunjung tinggi produktivitas pada tingkatan yang ekstrem. Namun, di balik itu semua, hustle culture juga menyimpan tekanan yang tidak selalu sehat untuk orang yang melakukannya.
Untuk memahami hustle culture, mulailah untuk memahami filosofi di baliknya. Kita harus melihat lebih dalam dari sekadar aktivitas kerjanya. Pasalnya, budaya ini dibentuk oleh perpaduan nilai-nilai modern, seperti berikut:
1. Ambisi dan pembuktian diri
Bagi banyak orang, kerja keras bukan cuma soal penghasilan, tetapi juga cara untuk membuktikan nilai diri. Semakin sibuk seseorang terlihat, ia akan semakin dianggap penting atau sukses.
2. Identitas yang terikat dengan produktivitas
Di tengah era digital, banyak orang mengaitkan siapa diri mereka dengan apa yang mereka hasilkan. Label “sukses” diberikan kepada mereka yang punya banyak proyek, klien, atau bisnis, meskipun itu berarti kehilangan waktu pribadi.
3. Validasi sosial
Media sosial memperkuat filosofi hustle culture dengan memberi ruang bagi orang untuk memamerkan kesibukannya dalam bekerja. Foto laptop di kafe jam 10 malam atau testimoni begadang untuk mengejar deadline digunakan untuk memancing pujian dari orang lain dan membuatnya seolah sebuah inspirasi untuk dicontoh dan ditiru. Padahal, bisa jadi hal tersebut justru mencerminkan kamuflase dari burnout karena terlalu lelah bekerja.
4. Ketakutan akan ketertinggalan (FOMO)
Tidak sedikit orang yang terjebak dalam hustle culture karena takut kalah saing dengan orang lain. Mereka merasa jika tidak terus produktif, mereka akan tertinggal dari rekan kerja atau pesain lain di industri yang sama. Jika tidak diseimbangkan dengan kesadaran diri, filosofi ini bisa membuat seseorang terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan tanpa henti.
Meskipun hustle culture bisa membawa semangat kerja dan produktivitas yang tinggi, dampak hustle culture juga tidak bisa diabaikan. Baik dari sisi fisik, emosional, maupun sosial, budaya kerja seperti ini dapat menyebabkan masalah. Contohnya sebagai berikut:
1. Burnout dan gangguan kesehatan mental
Bekerja tanpa jeda dapat meningkatkan risiko burnout. Gejala dari kondisi tersebut bisa berupa kelelahan kronis, kehilangan motivasi, cemas berlebihan, hingga gangguan kesehatan mental seperti depresi.
2. Kehilangan kehidupan pribadi
Orang yang terlalu tenggelam dalam kerja sering mengabaikan relasi sosial, keluarga, bahkan waktu istirahat. Akibatnya, kehidupan menjadi tidak seimbang dan muncul rasa hampa dari apa yang dikerjakan.
3. Produktivitas semu
Ironisnya, terlalu banyak kerja bisa menurunkan kualitas hasil kerja. Fokus terganggu, keputusan tergesa-gesa, dan hasil tidak maksimal karena otak yang terus dipaksa bekerja tanpa istirahat.
4. Identitas yang rentan
Ketika identitas hanya dibangun dari kesibukan dan pencapaian, kegagalan kecil pun bisa membuat seseorang kehilangan rasa percaya diri atau arah hidup.
Nah, dari penjelasan tersebut, apakah kamu tertarik untuk menjadi bagian dari hustle culture?