Menu
film bahasa inggris
News and Lifestyle

Adaptasi Buku ke Film: Satu Judul Multi Makna

2020.05.11

Akhir-akhir ini marak film yang diciptakan dari buku-buku yang terkenal dan laris di pasaran. Kira-kira, apa yang memicu hal ini terjadi? Mari simak di artikel berikut!

Kejadian ini sudah lama terjadi dari beberapa puluh tahun lalu. Namun, kali ini industri perfilman lebih banyak menggarap adaptasi ketimbang membuat original story. Alasannya mungkin adalah ketika membaca buku, otak kita akan memvisualkan kejadian yang terdapat di dalam buku. Setelahnya inspirasi datang sehingga mendapat gambaran jika cerita tersebut difilmkan. Alasan lain tentunya adalah kemungkinan mendapatkan keuntungan yang besar karena buku yang diadaptasi adalah buku yang laris di pasaran dan memiliki banyak penggemar.

Yuk, coba kelas demo GRATIS!*

Mau kursus di EF? Coba kelas demo gratis* di EF center terdekatmu!

Incorrect phone number
Daftar Sekarang!

Dengan menekan tombol Daftar Sekarang, Anda menyetujui Kebijakan Privasi EF serta bersedia menerima penawaran dari EF.

*Syarat dan Ketentuan Berlaku

Tidak ada yang salah jika produser dan sutradara melakukan adaptasi dari buku menjadi film. Hal itu sah-sah saja di dunia kesenian. Bahkan banyak karya seni yang diadaptasi ke dalam medium yang lain. Itu berarti karya tersebut telah memiliki pengaruh besar dan memiliki nilai kualitas yang tinggi. Mengubah medium sebuah karya merupakan kegiatan yang dilakukan seniman untuk menghargai karya-karya besar yang menjadi inspirasinya.

Pertanyaan yang akan muncul selanjutnya adalah: Sebagus apa film yang akan diadaptasi dari bukunya?

Para penggemar dari buku yang diadaptasi akan selalu berekspektasi tinggi bahwa filmnya akan menjadi besar sama seperti buku yang diadaptasinya. Contoh paling dekat di Indonesia adalah ketika Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer muncul sebagai film adaptasi yang disutradai oleh Hanung Bramantyo. Dengan menggunakan Iqbaal Ramadhan sebagai tokoh utama, film Bumi Manusia sempat ramai diperbincangkan. Novel Bumi Manusia merupakan mahakarya yang ditetapkan oleh banyak orang sebagai kitab sastra Indonesia. Tentu hal itu menjadi polemik mengingat idealisme Pram yang juga beraliran kiri. Hanung Bramantyo selaku sutradara memiliki beban yang bahkan namanya sebagai sutradara kesohor di Indonesia menjadi taruhannya.

Hasil dari adaptasi itu pun menjadi bercabang, ada yang suka dan ada yang tidak. Ada yang mengatakan Hanung sukses mengolah Bumi Manusia menjadi cerita yang memiliki karakteristik tokoh yang kuat. Di lain sisi, ada kritik tajam yang diutarakan terkait idealisme yang terdapat dalam film sangat berbeda dengan apa yang ada di dalam buku. Hal itu membuat citra buku Bumi Manusia jadi buruk menurut penggemar.

Berbeda dengan Bumi Manusia, Harry Potter justru sukses dalam melakukan adaptasi. Seperti yang sudah diketahui banyak orang, Harry Potter justru sulit masuk ke dalam penerbitan karena naskahnya yang sulit dicerna oleh anak-anak. Bahkan sampai 13 kali J.K. Rowling mendapat penolakan. Namun, ketika naskahnya diterima dan diterbitkan, buku tersebut laku keras. Mendapat respon positif, Harry Potter mendapat adaptasi menjadi film dan suksesnya tak kalah dari bukunya. Bahkan sampai 7-8 film yang diciptakan atau mungkin lebih. Penggemarnya pun semakin banyak. Hal tersebut menggambarkan betapa suksesnya proses adaptasi yang dilakukan.

Melihat kegagalan dan kesuksesan dari contoh di atas, adaptasi menjadi perlu dipertanyakan: Apakah buku bagus perlu adaptasi menjadi film?

Bagi pegiat sinematik, mengubah buku bagus menjadi film akan memberikan kesempatan untuk meraih pasar yang besar dan meraup keuntungan yang banyak. Tapi bila melihat contoh di atas seperti Bumi Manusia, pengadaan adaptasi film menjadi diragukan dan tidak perlu melakukan adaptasi dari buku ke film. Penilaian antara buku yang bagus dengan filmnya menjadi polemik bagi pembaca setia dari buku yang diadaptasi. Beberapa menganggap tidak perlu diadaptasi agar tidak merusak kualitas buku. Tapi Harry Potter justru bisa sukses.

Pendapat di atas akhirnya ditengahi oleh Sapardi Djoko Damono. Si Lelaki Hujan mengatakan bahwa tidak perlu adanya pembandingan antara buku yang diadaptasi dengan filmnya. Kedua hal tersebut adalah dua medium yang berbeda. Buku merupakan rangkaian kata-kata sedangkan film adalah sebuah gambar yang bergerak. Penilaiannya itu pernah dituangkannya di sebuah bukunya yang berjudul Alih Wahana. Jadi, menurutnya tidak perlu melakukan pembandingan dari keduanya. Bandingkanlah film dengan film dan buku dengan buku, dengan medium yang sama.

Untuk informasi tambahan, dalam melakukan adaptasi, cerita dari buku yang dijadikan objek akan mengalami perubahan ketika diubah menjadi naskah. Hal tersebut perlu dilakukan untuk kepentingan cerita di dalam film dan untuk meraih pengalaman yang berbeda yang akan diberikan ke penonton.

Jadi, ketika menonton film dari buku yang kamu suka, lupakan dulu ya buku yang pernah kamu baca. Karena mungkin saja akan terdapat beberapa perbedaan.